![]() |
Mokhamad Abdul Aziz* |
“HMI bukan liberal, HMI bukan fundamental, HMI bukan
Muhammadiyah, HMI bukan NU, HMI bukan Arab, HMI bukan Barat, HMI bukan kanan,
HMI bukan kiri. HMI adalah Islam yang Indonesia.”
Itulah kalimat yang merupakan ungkapan dari catatan harian salah
satu intelektual HMI bernama Ahmad Wahib. Kalimat ini merupakan jawaban atas
pertanyaan mengenai Islam apa yang dianut oleh organisasi yang telah banyak
melahirkan tokoh bangsa itu. Termasuk kalimat itu digunakan untuk menjelaskan
kepada Perdana Menteri Inggris David Cameron beberapa waktu lalu mengenai
ideologi Islam yang diperjuangkan oleh HMI. Ungkapan ini seharusnya juga
menjawab kesalahpahaman kolektif yang terjadi di kampus-kampus UIN, IAIN,
STAIN, bahwa HMI itu itu bagian Muhammadiyah. Entah atas dasar apa, tetapi yang
jelas, stigma itu dikembangkan oleh oknum tertentu untuk mengaburkan pemahaman
jernih mengenai jati diri HMI. Dinamika politik kampus yang tidak dewasa
ditengarai menjadi penyebab utamanya.
HMI adalah organisasi yang menghimpun mahasiswa-mahasiswi Islam
di Indonesia yang berdiri pada 5 Februari 1947 di Yogyakara. Sebagaimana
dijelaskan Dr. Mohammad Nasih, menganggap bahwa Himpunan Mahasiswa Islamsama
dengan Muhamadiyah merupakan kekeliruan besar. Sebab, Muhammadiyah jelas-jelas
memiliki organisasi underbrow bernama
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Namun demikian, HMI tidak pernah alergi
dengan organisasi sosial keagamaan manapun, baik Muhammadiyah, NU, Persis,
Al-Irsyad, Hidayatullah maupun yang lain-lain.
HMI yang merupakan organisasi kemahasiswaan Islam terbesar dan
tertua yang didirikan pada 5 Februari 1947, selisih kurang dari dua tahun
setelah kemerdekaan, diprakarsai oleh Lafran Pane (Prof. Alm.). Selama
lebih dari 71 tahun, HMI turut serta dalam pembangunan umat dan bangsa. Dengan
berasaskan Islam, HMI berperan sebagai organisasi perjuangan, dengan
mendasarkan gerakannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yang termaktub dalam
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP).
Pada mulanya, HMI merupakan satu-satunya organisasi
kemahasiswaan Islam di Indonesia. HMI diposisikan sebagai penyuplai kader umat
dan bangsa. Mahasiswa Islam pada saat itu terwadahi di dalam organisasi bernama
HMI tersebut. Namun, konstalasi politik pada tahun 1960-an, yang pada saat itu
PKI ingin membubarkan HMI. Kader-kader HMI yang berasal dari NU diinstruksikan
untuk mendidrikan PMII (17 April 1960). Sedangkan kader-kader HMI yang berlatar
belakang Muhammadiyah diinstruksikan untuk mendirikan IMM (14 maret 1964).
Dengan demikian, jika HMI benar-benar dibubarkan, maka umat Islam masih memiliki
wadah kaderisasi mahasiswa.
Alfan Alfian menjelaskan dengan sangat apik detik-detik HMI
ditekan habis-habisan agar dibubarkan. Bahkan, dalam rapat umum CGMI
(Consentrasi Gerakan Mahasaiswa Indonesia), organisasi mahasiswa underbow PKI.
Tokoh pembesar PKI D.N. Aidit berkata, “Mengapa Masyumi/GPII telah dibubarkan,
HMI tidak dibubarkan? Kalau tidak dapat membubarkan HMI, lebih baik pakai
sarung”. HMI pun melakukan perlawanan terhadap agitasi itu dengan mengajukan
jargon “Dipalu, HMI maju, Diarit HMI bangkit!”. Mendapat desakan dari PKI agar
membubarkan HMI, Bung Karno bergeming dan justru mengatakan “Go ahead HMI”.
HMI pun tidak jadi dibubarkan dan bahkan terus berkembang sampai
sekarang untuk membangun lima kualitas insan cita, yaitu: “Terbinanya insan
akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas
terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridlai Allah SWT.” (Pasal 4 AD HMI).
Tujuan itu akan diwujudkan dengan usaha-usaha konkrit yang ada di Pasal 5 AD
HMI. Usaha yang tidak bertentangan dengan ideologi, sifat, status, fungsi, dan
peran HMI.
HMI bukan bawahan atau underbow organisasi
manapun. Sebab, HMI bersifat independen. Ibarat miniatur umat Islam Indonesia,
di dalam HMI berbaur mahasiswa dari berbagai macam latar belakang. Dan justru
karena itulah, HMI banyak melahirkan kader yang menjadi pemikir-akademisi
terkemuka di Indonesia, seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid (Alm. UIN Jakarta),
Prof. Dr. Azumardy Azra dan Prof. Dr. Kumaruddin Hidayat (Mantan Rektor UIN
Jakarta), KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), Prof. Dr. Mahfud MD (Mantan Ketua
MK, Presidium KAHMI), Ahmad Wahib (Pembaharu Pemikiran), Prof. Dr. Muhammad Nuh
(NU, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif
(Mantan Ketua PP Muhammadiyah), Prof. Dr. Amien Rais (Tokoh Muhammadiyah), KH.
Yahya Cholil Staquf (Katib Aam PBNU), Yudi Latif (Cendekiawan Muslim), Mohammad
Nasih (Pendiri Monash Institute), Alfan Alfian (Intelektual Muda), dan masih
banyak lainnya.
Di kalangan politisi, kader-kader HMI juga terlihat menonjol,
sebut saja Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI), Pramono Anung (Menteri Seskab),
Ferry Mursidan Baldan, Yuddy Chrisnandi, Irman Gusman, Anies Baswedan (Gubernur
DKI), Zulkifli Hasan (Ketua MPR), Harry Ashar Aziz (Ketua BPK), Husni Kamil
Malik (Mantan Ketua KPU), Prof. Dr. Muhammad (Ketua Bawaslu), Dr. Ir. Akbar
Tandjung, Prof. Dr. Yuzril Ihza Mahendra, Marzuki Ali (Mantan Ketua DPR), Dr.
Muliaman D Haddad (UI, Ketua OJK), Dr. Halim Alamsyah (UII, Deputi Gubernur
Bank Indonesia), Dr. Abraham Samad (Unhas, Mantan Ketua KPK), Saifullah Yusuf
(Gus Ipul, Wakil Gubernur Jawa Timur), Nusron Wahid, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Beberapa tokoh HMI di atas ditulis bukan bermaksud untuk pamer,
tetapi ingin menujukkan bahwa kader-kader HMI memiliki latar belakang yang
sangat beragam, baik dari NU, Muhammadiyah, maupun tidak memiliki latar
belakang organisasi lain sosial keagamaan. Hal ini membuktikan bahwa HMI
merupakan organisasi Islam yang Indonesia. Tempat untuk berproses untuk menjadi
manusia yang memiliki wawasan dan cakrawala yang luas, tidak kolot dan fanatik
berlebihan, dan yang pasti menjadi lebih baik dengan intelektualitas yang akan
terus menanjak. Semua itu hanya untuk mencari ridla Allah Swt. Semoga di usia
yang matang ini, HMI tetap berkontribusi besar dan konsisten dengan idoelogi
ke-Islaman dan ke-Indonesia-an. Selamat dan sukses untuk Kongres XXX di Kota
Ambon 9 Februari 2018. Bahagia HMI, Jayalah Kohati. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
*Oleh: Mokhamad Abdul
Aziz; Ketua Umum HMI
Komisariat Dakwah Walisongo Semarang 2013-3014.
Sumber: Militan.co
Saya sepakat dengan Mas Aziz. HMI memang bukan NU, bukan MU, tapi HMI mencakup keduanya. Justru saya berHMI bukan berarti saya keluar dari NU. Karena organisasi hanyalah kendaraan saja.
BalasHapus